Industri farmasi kini wajib menyusun Perencanaan Manajemen Risiko sebagai dokumen terbaru dalam persyaratan registrasi izin edar obat. Dengan begitu, tragedi obat beracun diharapkan tidak terulang kembali.
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Obat dan Makanan menambah syarat registrasi izin edar obat demi menjaga mutu dan keamanan obat yang dikonsumsi warga. Tiap industri farmasi kini mesti menyusun Perencanaan Manajemen Risiko dalam sistem farmakovigilans atau kegiatan pendeteksian, penilaian, dan pencegahan efek samping obat.
Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito menjelaskan, Perencanaan Manajemen Risiko (PMR) merupakan dokumen yang dirancang untuk mengidentifikasi, menentukan karakteristik, mencegah atau meminimalkan risiko obat sebelum diedarkan sehingga farmakovigilans dapat diimplementasikan dengan efektif pada saat obat beredar.
Aturan tambahan ini dicantumkan dalam Peraturan BPOM Nomor 15 Tahun 2022 tentang Penerapan Farmakovigilans yang terbit 7 Juli 2022 sebagai pengganti aturan sebelumnya No HK.03.1.23.12.11.10690 Tahun 2011.
Dengan adanya aturan baru ini, tragedi kematian 204 anak akibat obat sirop beracun yang mengandung senyawa etilen glikol dan dietilen glikol penyebab gangguan ginjal akut progresif atipikal atau GGAPA yang terjadi pada akhir tahun lalu diharapkan tidak akan terjadi lagi. Sebanyak 122 anak penyintas juga masih berjuang untuk pulih sampai sekarang.
”Industri farmasi memiliki kewajiban menyusun dokumen PMR secara holistik yang mencakup proses pengembangan hingga distribusi produk. Dokumen ini merupakan bagian tak terpisahkan dari dokumen registrasi produk,” kata Penny dalam lokakarya ”Perkuatan Kapasitas BPOM dalam Pengawasan Pre-Market melalui PMR”, di Jakarta, Selasa (19/9/2023).
Penyusunan dokumen PMR bertujuan untuk mengidentifikasi dini risiko produk dan area yang memerlukan evaluasi lebih lanjut. Selain itu, PMR juga dibutuhkan untuk melakukan perencanaan penelitian atau studi baru untuk mengidentifikasi dan mengenali risiko.
Pelaporan pelaksanaan PMR berlaku untuk obat baru, produk biologi termasuk biosimilar, obat generik tertentu, atau obat yang mengalami suatu perubahan yang dapat meningkatkan risiko keamanan.
Spesifikasi keamanan yang harus dipenuhi dalam PMR yaitu epidemiologi dari indikasi dan populasi target, bagian nonklinik dari profil keamanan, paparan uji klinik, populasi yang tidak diteliti dalam uji klinik, pengalaman pasca-persetujuan, risiko teridentifikasi dan yang potensial, serta ringkasan isu keamanan.
Industri farmasi memiliki kewajiban menyusun dokumen PMR secara holistik yang mencakup proses pengembangan hingga distribusi produk. Dokumen ini merupakan bagian tak terpisahkan dari dokumen registrasi produk.
Namun, berdasarkan data BPOM periode Januari-Agustus 2023, persentase penyerahan dokumen PMR dari industri farmasi baru mencapai 30 persen dari seluruh permohonan registrasi obat baru yang diterima oleh BPOM. Penerapan kewajiban penyusunan dokumen PMR memang masih dilakukan secara bertahap.
Lokakarya yang digelar selama tiga hari oleh BPOM ini ditujukan untuk membantu industri farmasi menyusun dokumen PMR sebagai bagian dari dokumen registrasi. Selain mengidentifikasi risiko obat pada pasien, PMR juga dapat mendukung upaya pencegahan pencemaran lingkungan dari produk obat.
Hal ini juga memperkuat peran BPOM dan industri farmasi dalam penerapan PMR, environmental risk assessment (ERA) pada tahap registrasi obat sekaligus memperkuat pengetahuan dan kapasitas evaluator BPOM dalam evaluasi dokumen PMR.
”Industri obat dan pangan itu industri besar yang esensial sekali untuk mendukung kehidupan masyarakat, tetapi di satu sisi dalam proses produksi mulai dari bahan baku, diproduksi, sampai jadi produk itu menggunakan substansi yang bisa berbahaya pada lingkungan, seperti racun, karsinogenik, dan lain-lain. Harus dilakukan upaya di awal sehingga ada pencegahan,” ujarnya.
Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia dan Grup Perusahaan Farmasi Internasional menyambut baik perubahan aturan ini. Sebab, mereka juga merasakan keresahan yang sama dengan BPOM terkait isu peredaran obat di Indonesia. Aturan ini diharapkan semakin memperkuat peran industri dan regulator dalam menjamin keamanan obat.
”Kami akan terus melakukan edukasi, pembinaan, dan mengomunikasikan hal ini kepada anggota kami bahwa ke depan kami harus meningkatkan kapasitas. Sebab, industri farmasi selain memproduksi obat untuk masyarakat juga mempunyai tanggung jawab pada keamanan obat tersebut, termasuk untuk lingkungan,” kata Ketua Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia Elfiano Rizaldi.
Komentar (0)
There are no comments yet