Berita

Bisnis.com, JAKARTA  — Asosiasi Biofarmasi dan Bahan Baku Obat (AB3O) mengungkap ada pihak yang tidak setuju dengan upaya Indonesia dalam meningkatkan kemandirian industri farmasi, termasuk bahan baku obat (BBO) dan vaksin dalam negeri.

Ketua Umum Asosiasi Biofarmasi dan Bahan Baku Obat (AB3O), FX Sudirman mengatakan Indonesia memiliki potensi besar untuk kemandirian farmasi, meskipun masih perlu dikembangkan secara bertahap. "Tujuan kita untuk mandiri yang gak setuju adalah para pelaku multinasional company, tetapi menurut saya kita gak perlu takut, dimana ada kemauan pasti ada jalan," kata Sudirman dalam Seminar Nasional Ketahanan dan Kesinambungan Percepatan Kemandirian Bahan Baku Obat dan Vaksin, Selasa (10/9/2024).  Dia menuturkan potensi besar industri farmasi nasional juga sempat disebutkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan dalam forum investasi di Bali beberapa waktu lalu.  Adapun, untuk saat ini baru ada 11 pabrik bahan baku obat (BBO) dalam negeri, 50 pedagang besar bahan baku farmasi, 237 industri, 2.500 pedagang besar farmasi, 40.000 sarana kesehatan dan pasien 281 juta jiwa.  "Kalau di total, secara ekonomi, cukup besar mungkin bisa mencapai US$11 miliar per tahun, pangsa pasarnya worth it untuk diambil atau diserang atau diakuisisi oleh negara-negara lain," ujarnya.

Di samping itu, Sudirman menyoroti pekerjaan rumah (PR) Indonesia untuk meningkatkan posisi ketahanan kesehatan yang saat ini masih berada di peringkat 85 negara dari 195 negara dalam kesiapan menghadapi ancaman kesehatan global, berdasarkan Global Health Security Index.  "Artinya dari sektor sistem kesehatan Indonesia masih perlu meningkatkan kemampuan dalam hal ketersediaan obat dan BBO farmasi. Ini tantangan besar untuk Indonesia karena gak mudah," tuturnya.  Terlebih, industri bahan baku obat merupakan infant industries atau industri yang baru berkembang di Indonesia dan belum memilih kemampuan untuk bersaing dengan industri yang lebih matang, terutama dengan pemain global. 

Di sisi lain, Indonesia masih ketergantungan impor BBO sebesar 90%. Bahkan, untuk produk intermediate atau setengah jadi 100% masih impor dari China. Sudirman juga menyoroti ekosistem Research & Development (R&D) yang belum terintegrasi.  Lebih lanjut, sebagian pelaku usaha juga disebut masih kelimpungan dengan regulasi yang kompleks. Dalam hal ini, proses sertifikasi yang seringkali panjang dan rumit sehingga menjadi penghambat bagi pertumbuhan industri.  "Indonesia sejak dikeluarkannya Inpres No 6/2016 banyak sekali insentif untuk industri farmasi dan alat kesehatan. Tapi gak banyak yang bisa menikmati. Misalnya tax holiday, super tac deduction, kemudian insentif fiskal lainnya, gak banyak yang bisa memanfaatkan karena terlalu rumit. Mungkin dibuat dengan itikad baik, tapi mungkin tidak implementable," pungkasnya.

Share:
Komentar (0)

There are no comments yet

Tinggalkan komentar di sini!