Jakarta - BPOM menjadi tuan rumah untuk kegiatan Disso Asia 2025, simposium internasional di bidang ilmu disolusi dan pengembangan kualitas obat. Kegiatan yang berlangsung selama 2 hari pada Selasa—Rabu (29—30/7/2025) ini terselenggara atas kolaborasi BPOM dengan Society for Pharmaceutical Dissolution Science (SPDS) sebagai inisiator kegiatan Disso Asia dan Kedutaan Besar India, dengan didukung oleh International Pharmaceutical Federation (FIP).
Kepala BPOM Taruna Ikrar mengungkapkan tujuan utama kegiatan ini untuk memperkuat kolaborasi antara Indonesia dan India. Taruna menjelaskan 3 alasan utama pemilihan India sebagai negara yang digandeng untuk berkolaborasi dalam pengembangan industri kefarmasian.
Taruna menyebut, Indonesia memiliki koneksi sejarah yang kuat dengan India sejak masa kemerdekaan. Bahan baku farmasi dari India banyak yang diimpor dan digunakan oleh industri farmasi Indonesia. Selain itu, Presiden RI Prabowo Subianto juga telah menyepakati kerja sama dengan Pemerintah India yang ditandatangani pada awal tahun 2025. Salah satunya menyangkut kerja sama di bidang pemastian kualitas produk farmasi. “India termasuk salah satu pemain kunci (key player) di industri farmasi global,” tutur Taruna Ikrar.
Kerja sama yang ditargetkan antara lain dalam hal harmonisasi standar farmakope, peningkatan kapasitas, pertukaran regulasi, penguatan sistem pengawasan, dukungan akses pasar, dan meningkatkan inovasi. Selain itu, juga kerja sama dalam mendorong pengembangan inovasi produk biologi. “Saya meyakini lewat kolaborasi ini, kita bisa mendorong percepatan kemandirian industri farmasi dalam negeri dan menurunkan angka kebutuhan impor bahan baku obat menjadi kurang dari 50%,” tutur Taruna Ikrar.
Duta Besar India di Indonesia Shri Sandeep Chakrovarty menyambut positif peluang kolaborasi ini. Sandeep menyatakan keinginannya untuk menjadi partner Indonesia dalam mengembangkan industri farmasi, terutama untuk membantu mengembangkan produk farmasi dengan harga yang lebih terjangkau. “Kegiatan hari ini menjadi bukti komitmen pemerintah dan regulator India untuk menjadi partner yang kuat bagi Indonesia,” ujar Sandeep. Terkait kolaborasi ini, BPOM mewakili Indonesia bersama India melalui Central Drugs Standard Control Organisation (CDSCO) tengah berproses untuk menandatangani kesepakatan kerja sama lebih lanjut dalam pengawasan obat.
Di hari pertama rangkaian simposium, Kepala CDSCO menyerahkan Scientific Abstract Book for The SPDS Conference sebagai simbolis dimulainya kegiatan. Selanjutnya, Kepala BPOM juga mengajak tim SPDS, Kedutaan Besar India, dan CDSCO untuk mengunjungi beberapa fasilitas, seperti BPOM Command Center (BCC), gedung layanan publik, dan fasilitas pengujian di Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPPOMN).
Simposium Disso Asia 2025 terdiri atas serangkaian seminar dan agenda diskusi yang menghadirkan narasumber dan peserta dari kalangan regulator, akademisi, dan industri farmasi. Peserta tidak hanya dari Indonesia dan India, tetapi juga dari Amerika Serikat dan negara Asia lainnya. Simposium secara umum membahas mengenai tantangan dan peluang dalam pengembangan dan regulasi mengenai kualitas obat, dengan fokus utama pada ilmu disolusi.
Disolusi merupakan suatu proses ketika bahan aktif obat keluar dari sediaan obat padat (seperti tablet atau kapsul) dan larut dalam cairan tubuh. Disolusi tidak hanya menjadi pengujian rutin terhadap produk obat, tetapi menjadi parameter kritis yang secara langsung menilai kualitas dan efikasi suatu produk obat.
SPDS sebagai organisasi profesional yang dibentuk di Mumbai, India pada 2012, berfokus pada pengembangan ilmu disolusi dalam industri farmasi, akademisi, dan regulator. Secretary General SPDS L. Ramaswamy yang turut hadir secara langsung di lokasi kegiatan, dalam sambutannya, menjelaskan secara singkat tentang peran SPDS dan pentingnya ilmu disolusi dalam industri farmasi.
Ramaswamy menyebut bahwa disolusi obat termasuk faktor penting di tengah meningkatnya kebutuhan untuk menyediakan obat generik yang mudah diakses dan terjangkau bagi masyarakat. Selain diperlukan pengetahuan dan teknologi untuk memastikan kualitas obat, kerja sama (networking) dengan seluruh pihak yang terlibat di sepanjang jalur produksi dan distribusi juga diperlukan untuk mengoptimalkan suatu formulasi produk obat.
Hal senada diutarakan President SPDS Padma V. Devarajan. Ia menekankan bahwa selain industri farmasi, akademisi memegang peran penting dalam pengembangan sistem jaminan mutu obat. “India tidak hanya fokus menyuplai obat kepada dunia, tetapi kami juga melakukan diseminasi pengetahuan, wawasan, dan pembelajaran melalui SPDS dengan menggandeng akademisi,” jelasnya.
Drugs Controller General of India (DCGI) sekaligus Kepala Central Drugs Standard Control Organisation (CDSCO) Rajeev Singh Raguvanshi turut memberikan paparan tentang aspek fundamental ilmu disolusi. Menurut Rajeev, ilmu disolusi harus diikuti dengan pemahaman mengenai proses farmakokinetika obat di dalam tubuh. “Semakin kita memahami bagaimana pelepasan [zat aktif obat] dan absorpsinya di dalam tubuh, ini menjadi dasar untuk menyusun formulasi obat yang berkualitas,” tuturnya.
Tidak hanya seminar dan diskusi, rangkaian kegiatan juga menghadirkan pameran alat uji disolusi dari pelaku usaha di Indonesia dan India. Rangkaian kegiatan ini diharapkan dapat menjadi forum networking agar terjalin kerja sama ABG (academia-business-government). Kerja sama positif untuk meningkatkan pengetahuan, serta harmonisasi regulasi dan komitmen bersama dalam menghadirkan obat yang aman, efektif, dan berkualitas bagi masyarakat. (HM-Herma)
Komentar (0)
There are no comments yet